Cinta Istimewa Untuk Orang Yang Luar Biasa
————–
BAI FANG LI adalah seorang tukang
becak. Seluruh hidupnya dihabiskan di atas sadel becaknya, mengayuh dan
mengayuh untuk memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan
kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.
Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya
malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan
jasanya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi
setelah melakukan rutinitasnya untuk bersekutu dengan Tuhan. Dia melalang
dijalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia akan
mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.
Para pelanggannya sangat menyukai Bai
Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari
wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun
karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar
lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah
tergolong ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan
mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya. Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk reot
yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan
banyak tukang becak, para penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun
bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu
sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek
dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah
sepanjang hari mengayuh becak.
Gubuk itu hanya merupakan satu ruang
kecil dimana ia biasa merebahkan tubuhnya beristirahat, diruang itu juga ia
menerima tamu yang butuh bantuannya, diruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus
yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah
bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari
tempat sampah dimana biasa ia makan, ada sebuah tempat minum dari kaleng. Di
pojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang biasa
dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah
menjelang.
Bai Fang Li tinggal sendirian
digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu
apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa
sendirian, banyak orang yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan
suka menolong.Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan
bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau
balasan.
Dari penghasilan yang diperolehnya
selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan
makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup
bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya
yang sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya,
karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan
sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu
miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui
sekolah yang ada.
Hatinya sangat tersentuh ketika suatu
ketika ia baru beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia
menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah
menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh
kecil itu nampak sempoyongan mengendong beban berat dipundaknya, namun terus
dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas
terpancar dimukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan
oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin
ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.
Bai Fang Li berkata, “Saya sudah tidak
dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang
terakhir yang dapat saya sumbangkan……” katanya dengan sendu. Semua guru
di sekolah itu menangis……..
Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 ( setara 470 juta rupiah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.
Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki
kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan.
Kemudian ia lihat anak itu beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan
waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan
memasukkan roti itu kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan
dari surga.
Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu,
ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia
heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang
diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli
makanan sederhana.
“Uang yang saya dapat untuk makan
adik-adik saya….” jawab anak itu.
“Orang tuamu dimana…?” tanya Bai Fang
Li.
“Saya tidak tahu…., ayah ibu saya
pemulung…. Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak
pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua
adik saya yang masih kecil…” sahut anak itu.
Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya
melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin
merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun
dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor
dengan pakaian yang compang camping.
Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau
tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan situasi dan keadaan
ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit
dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain,
mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.
Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga
anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin.
Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan
mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar
mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan
pendidikan yang layak.
Sejak saat itulah Bai Fang Li
menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam
delapan malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Dan seluruh uang
penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan pembeli dua potong kue kismis
untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan
malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk
sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.
Ia merasa sangat bahagia sekali
melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan
kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih
cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit
sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmmm… tapi masih cukup
bagus… gumannya senang.
Bai Fang Li mengayuh becak tuanya
selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti,
ditengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari
yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.
“Tidak apa-apa saya menderita, yang
penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat
bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini…,” katanya bila orang-orang
menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa
perduli dengan dirinya sendiri.
Hari demi hari, bulan demi bulan dan
tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi
memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin
itu. Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB
500 (sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak
dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.
Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 ( setara 470 juta rupiah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.
0 komentar:
Posting Komentar